Oleh ahmad fauzin.
Mahasiswa PGMI IAIN Walisongo Semarang Smester Tiga
Bernostalgia dengan tragedi demonstrasi tanggal 20 oktober 2010 di penjuru tanah air menyambut setahun pemerintahan SBY-Budiyono seakan mengingatkan kita terhadap fenomena lahirnya zaman reformasi, tumbangnya orde rezim sueharto. Keduanya adalah salah satu bagian dari proses perealisasian sistem negara demokratis yang kabarnya telah di akui dunia akan keberhasilannya itu. Sehingga, dalam sebuah pernyataan orang nomor satu di amerika, presiden barack obama tak segan-segan memberi apresiasi terhadap indonesia akan demokratisasi di indonesia . Meskipun dalam praktik lapangan, konsep demokrasi tersebut belum sepenuhnya dapat berhasil secara signifikan.
Kadilan merupakan kunci pertama dan utama. Pemerintah boleh saja menggembar-gemborkan dalam pidato kenegaraan dengan janji manis untuk menyihir rakyatnya agar dapat tenang dan tidur nyenyak di awal pembukaan program promosinya. Namun sudah sewajarnya bila pihak rakyat, terutama mahasiswa sebagai ” Agen Social Of Control” perlu mengontrol, mengkaji, dan mengevaluasi kebijakan tersebut.
Di tengah kesibukan pejabat serta kurangnya respon, tanggapan, maupun tindak lanjut yang mereka lakukan seolah penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasilah, pada saat sekarang ini di anggap sebagai alternatif paling tepat.
Dua kemungkinan
Ada dua kemungkinan saat demonstrasi berlangsung. Berjalan dengan tertib atau bisa saja ricuh. Tak selamanya demonstrasi selalu ricuh sehingga berkonotasi anarkis, brutal, arogan bahkan ada sebagaian orang yang mengganggap tak beretika. Demonstrasi bisa saja berjalan dengan tertib. Hal itu karena aspirasi para demonstrans mendapatkan respon dan di terima dengan baik. Sebaliknya apabila suara mereka tidak di dengar sudah sewajarnya bila kekesalan itu berbuntut ricuh. Ricuh dalam demonstrasi sah-sah saja. Asalkan kericuhan itu masih dalam koridor yang di benarkan oleh aturan dan norma yang berlaku.
Yang terpenting dalam moment demonstrasi adalah kesiapan menejement dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Bisa saja saat aksi demonstrasi terjadi, pihak yang di maksudkan massa memang benar-benar tidak dapat menemui mereka dengan tatap muka. Jika dalam sebuah kelembagaan tidak punya manajement pengelolaan tanggap darurat seperti kasus demonstrasi ini, maka aspirasi mereka tidak akan mendapat perhatian. Akibatnya keadaan itu memicu kericuhan yang tidak di inginkan.
Begitu pula pihak demonstran yang melakukan aksi, harus mempersiapkan manajemen aksi, pengelolaan massa, penyampaian aspirasi suara yang solit agar tidak mudah terprofokasi pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Polisi sebagai pihak penengah akan mampu menjalankan tugasnya jika semua jajaran di dalamnya dapat di kelola sebagaimana mestinya.
Sehingga tidak mustahil demonstrasi akan berjalan baik jika koordinasi dan koalisi yang baik antara pihak di dalamnya di terpakan. Pihak keamanan, demonstran dan pejabat maupun lembaga yang terkait sudah sewajarnya menjunjung tinggi azas tanggung jawab yang mereka emban masing-masing. Sebagai pihak pejabat ataupun birokrat harus sadar akan posisi serta tanggung jawabnya memimpin elemen di bawahnya. Para demonstran seharusnya juga bijak menyikapi dinamika perjalanan sistem demokrasi yang ada, tanpa harus merobohkan salah satu prinsip demokrasi ini dalam bentuk aksi yang tidak bertanggung jawab. Sebagai pihak penengah dalam proses mediasi dan negosiasi, pihak keamanan harus bijak dalam menanggapi problem lapangan yang terkadang tidak dapat di prediksi dengan langkah antisipatif yang baik.
Oleh : Fauzin el-Banjari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar