Senin, 31 Januari 2011

Memulai pendakian menggapai sarjana

Persiapan ujian nasional
Pada masa sekolah di bangku SMA sederajat momen yang terbesar dalam penentu sukses tidaknya siswa adalah ujian nasional. Karena keluylusan anak didik seratus persen di tentukan oleh nilai ujian. Memang penilaian kelulusan sedikit banyak bergantung pada hasil kognitif siswa. Apabila nilai matapelajaran ujian memenuhi standar maka di jamin dapat lulus. Namun jika tenyata hasil nilai ujian di bawah sandar, dalam arti belum memenuhi acuan dasar kelulusan yang di syaratkan oleh dinas pendidikan, maka kelulusan hanyalah menjadi isapan jempol belaka.
Tidak hanya itu imege masyarakat pada saat ini tentang ujian nasional juga kurang baik. Ujian nasional yang selama ini berkutat pada kompetensi kognitif di anggap masih belum dapat di jadikan pijakan menentukan lulus tidaknya seorang siswa. Karena bagaimanapun kecerdasan itu tidak hanya terkusus pada penguasaan kecerdasan intelektual saja.
Dari permasalahan ini, Mungkin masyarakat sekarang menginginkan adanya kejelian pihak pengelola pendidikan agar lebih objektif dalam menentukan kelulusan. Dengan kata lain mereka menginginkan adanya perubahan yang komprehensif dalam tubuh dunia pendidikan pada saat ini dan masa yang akan datang. Karena permasalahan kecerdasan sekarang ini telah di ketahui bahwa kecerdasan itu beragam jenisnya. Ada kecerdasan musikalisasi, matematika, olahraga, visual spasial, natural atau alam, interpersonal, idan intrapersonal. Sehingga harapan mereka tentang kelulusan adalah pertimbangan kelulusan nilai ujian secara ideal. Tidak hanya mementingkan satu kecerdasan tertentu yang pada dasarnya bukan merupakan keputusan yang ideal.
Meskipun masyarakat sebenarnya mengharapkan adanya perubahan pada format penilaian kelulusan namun kenyataanya pemerintah dan lembaga pendidikan yang di naunginya belum dapat memenuhi aspirasi yang demikian. Sehingga di berbagai tempat, pihak sekolah jungkir balik memikirkan anak didiknya aga dapat lulus. Pihak sekolah dalam hal ini seolah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam menentukan lulus tidaknya siswa ke depan.
Apabila lembaga sekolah ini kurang baik dalam mengelola proses belajar mengajar maka akibatnya sangat fatal. Sehingga untuk menanggulangi kejadian yang tidak di inginkan di dalam ujian nasional, terpaksa segala hal yang dapat memuluskan jalannya kelulusan peserta didik di tempuh. Oleh karena itu banyak sekolah yang mengadakan gebrakan menyongsong adanya ujian ini. Gebrakan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah di peruntukan bagi seluruh anak didik yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian nasional. Sekolah mulai menggarap proyek gebrakan besar dalam menghadapi ujian tersebut.
Gebrakan yang di maksud antar lain adalah kegiatan-kegiatan yang menjadi stimulasi kelulusan dapat berjalan dengan lancar. Mulai dari gebrakan dari tambahan jam pelajaran, peningkatan mutu pengajar yang kompeten, memformat desai pembelajaran efektif, pematangan siswa dalam penguasaan materi ujian sampai dengan menggelar acara doa bersama.
Venomena inilah yang sering kita temui di berbagai lembaga pendidikan ataupun sekolahan. Para dewan guru pun tidak luput dari kerja ekstra. Anak-anak membutuhkan tambahan jam pelajaran. Sehingga dari pagi sampai malam muatan pelajaran yang di ujiankan seolah menjadi buronan yang selalu di kejar-kejar.
Dengan persiapan yang demikian,  rupanya pihak sekolah tidak mau mendapat cap sekolah yang gagal. Atau di identikan sebagai sekolah yang tidak dapat membawa anak didiknya mendapatkan tulisan’ Lulus ujian’ dari departemen atau kementrian pendidikan.  Oleh karena itu  meskipun dalam proses pembelajaran dan penyampaian materi pelajaran di warnai dengan susah payah, namun tekat dan komitmen untuk menjadi sekolah yang berhasil harus di perjuangkan. Dengan demikian mereka berharap kualitas lulusan tidak mengecewakan. Entah dari segi kuantitas ataupun dari segi kualitas kelulusan. Maka harapan dari jerih payah tersebut mereka dapat meluluskan seratus persen anak didiknya. Mengingat memang tugas ini sebagai sebuah amanah sekaligus tantangan
Waktu ujian memang belum belum di mulai. Hari ujian pun masih sekitar satu minggu atau lebih dari itu. Tiga hari penting penentu bagi anak-anak didik tertua di lembaga tersebut selalu menjadi perbincangan publik. Siapapun yang tidak berhasil dalam proses ujian berarti harus siap segala resikonya. Beban yang harus di pikul, baik beban pikiran atau beban kejiwaan. Dan ini artinya anak didik belum sampai pada moment sakral ujian nasional. Namun pemandangan di berbagai sekolah tampak lain. Sekolah-sekolah ternyata telah mendapatkan publikasi dalam bentuk surat pemberitahuan, ataupun kunjungan langsung tim sukses perguruan tinggi dari berbagai tempat.  Bahkan ada pula perguruan tinggi tertentu yang sudah menjalin kerjasama. Ada beberapa perguruan tinggi yang jauh-jauh hari berusaha mempromosikan kampusnya. Mengharapkan kampusnya dapat di kenal khalayak lewat publikasi yang mereka sampaikan. Karena apabila publikasi ini berhasil, jalan untuk mendapatkan langganan mahasiswa terbuka lebar. Dan dari perguruan tinggi favorit pastinya akan mendapatkan investasi besar di kemudian hari dengan menggaet jumlah mahasiswa sebesar-besarnya.
Antara perguruan tinggi yang satu dengan yang lainnya tak mau kalah. Selama mereka mempromosikan kampusnya semua sisi baik perguruan tinggi di agung-agungkan. Semua di lakukan tidak lain adalah  demi mendapatkan calon mahasiswa baru. Sehingga banyak siswa yang kebingungan memilih mana perguruan tinggi yang akan mereka ambil.  
Tren visi, misi, prospek pekerjaan yang menjanjikan selalu di jadikan senjata pamungkas. Dengan tren inilah promosi yang di gerakan dapat merasuk di dalam pikiran mereka. Beberapa contoh strategi yang di seluncurkan di berbagai sekolah diantaranya adalah dengan menawarkan fakultas-fakultas yang menarik minat mereka. Ada sebagian yang menawarkan fakultas pendidikan, dengan iming-iming bahwa prospek kebutuhan guru di tahun-tahun ke depan bagus. Banyak guru atau calon pendidik yang pensiun. sehingga  Sebagian gerbang pintu menjadi tenaga didik banyak peluang. Karena di dasarkan pada status, fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas manusia atau suberdaya manusia. Status yang strategis tersebut menjadikan seorang guru patut di beri jaminan penghasilan di atas kebutuhan minimun dan kesejahteraan sosial baik guru negri atau swasta.  
 Dari kesekian banyak perguruan tinggi yang berkeliling setidaknya mereka menawarkan testimoni tentang hal-hal yang dapat menggaet minat publik untuk daftar di kampusnya. Antara  prospek cerah, mutu, kebutuhan dunia kerja, dosen kompeten, fasilitas-fasilitas, status akreditasi jurusan maupun kualitas alumni yang selalu di jadikan komoditas utama. Inilah tawaran-tawaran pruduk perguruan tinggi yang begitu menjajikan. Selama itulah pikiran dan pertimbangan secara arif harus di buka. Terutama para objek pendidikan dalam hal ini para orang tua wali murid dan peserta didik yang akan masuk perguruan tinggi. Sehingga  tidak mengecewakan di kemudian hari. Karena antara harapan dan kenyataan di lapngan tidak sesuai.
 Permisalan serupa juga dapat di temui pada seperti jurusan psiko terapi. Meskipun pada saat ini pada jurusan ini statusnya masih sedikit peminatnya namun jurusan ini tidak mau kalah dan berusaha dapat mendapat perhatian. Dengan menggambarkan keadaan kebanyakan orang di zaman sekarang, setidaknya jurusan tersebut mendapatkan lahan bidikan. Di antara bidikan jurusan ini adalah orang-orang yang sedang terganggu kejiwaannya karena banyak masalah. Entah itu pribadi, karir, keuangan, masalah politik, krisis keyakianan yang ujung-ujungnya dapat mengganggu kejiwaan seseorang yang berakibat fatal.  
Dengan  gambaran prosentase tingkat goncangan psikologi  yang begitu banyak maka sudah pasti membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat. Tidak sembarangan orang dapat mengetahui seluk beluk dunia kejiwaan kecuali mereka yang belajar ilmu kejiwaan pula. Jalan untuk dapat menanggulangi gangguan kejiwaan yang demikian adalah dengan tes psiko terapi.  Praktis tenaga ahli dan para pakar yang kompeten pada permasalahan penangan psikoterapi sangat di butuhkan di dunia kerja.
Ujian nasional memang sangat di tunggu tunggu, namun juga menjadi sesuatau yang di takuti di mata anak-anak kelas dua belas. Jika ujian nasional di katakan sebagai sebuah moment yang di tuinggu-tunggu karena dengan ujian nasional para siswa dapat mengetahui seberapa jauh tingkat keberhasilan mereka dalam menjalani pembelajaran selama tiga tahun itu. Apabila keikutsertaan mereka dalam ujian nasional dapat lulus, berarti ini alamat keberhasilan. Namun apabila kinginan lulus itu tidak terwujud, maka indikator ketidak berhasilan mereka belum tercapai. Sekali lulus, pasti warna kegembiraan akan muncul di wajah mereka. Baik diri sendiri, orang tua, bapak ibu guru dan masuarakat akan menyambut baik hasil kewlulusan itu. Sehingga setelah itu mereka dapat melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya, yakni memasuki dunia kuliyah. Selain itu kalaupun toh mereka tidak melanjutkan sekolah lagi, hasil ujian nasional akan dapat di jadikan modal awal melamar pekerjaan. Mereka tidak perlu repot mengulang kembali proses belajar selama satu tahun. Sehingga usaha selama tiga tahun lamanya itu tidak terbuang sia-sia. Inilah pandangan yang mengatakan, unjian nasional sebagai kesempatan berlian yang di tunggu-tunggu.
Namun ujian nasional di pandang sebagai pantangan, mengingat standar kelulusan tiap tahun bertambah. Pemerintah mewajibkan mereka dengan tuntutan berupa keharusan mendapatkan standar minimum nilai jika menginginkan kelulusan. Belum lagi persiapan ujian yang sangat lama dapat menghabiskan tenaga dan pikiran. Tidak lulus ujian berarti harus siap dengan kesibukan melayani pelajaran ujian selama setahun. Di tambah lagi beban psikis dan mental apabila mereka tidak lulus ujian.
Persiapan kuliyah
Beda kepala, beda situasi maka beda pula keinginan. Setelah di nyatakan lulus ujian nasional, biasanya seorang siswa akan bertanya. Entah pertanyaan itu di tujukan kepada orang tua, teman pribadi atau teman yang sudah masuk perguruan tinggi.
Banyak pertanyaan bergelantung di dalam pikiran yang butuh jawaban. Sontak pertanyaan dari dalam hati saling berdebat tak karuan . Sehingga  apa yang di pikirkan menuntut sebuah jawaban. Pertanyaan tersebut berimajinasi, menyisiri sudut-sudut ruang jawaban. Memaksa kata hati berupaya mencari jawabannya. Dan kebanyakan pertanyaan demi pertanyaan berujung pada masalah karir dan prospek masa depan.
Apa yang harus saya lakukan setelah lulus. Itulah kiranya pertanyaan lama yang selalu hadir di benak anak didik setelah menenteng ijazah kelulusan. Antara satu dengan yang lain saling bertanya masalah masa depan. Apakah ingin melanjutkan kuliyah atau tidak. Ada yang berkeinginan untuk kuliyah. Karena mungkin dari pihak orangtua menghendaki, ada dana, minat pribadi kuat, dan memang belum ada keinginan untuk bekerja.  Ada pula setelah lulus ujian berkeinginan  melamar pekerjaan. Mengingat segala sesuatunya tidak di mungkinkan lagi pendidikan tinggi itu di terurkan. Ada pula yang malah ingin menjalani bahtra rumah tangga. Karena memandang dari sudut usia atau desakan hasrat untuk itu tidak bisa di tunda-tunda lagi.
 Semuanya telah mengambil sebuah keputusan dalam memandang masa depan mereka masing-masing. Itulah keputusan yang mereka ambil dan harus di jalani mereka setelah di nyatakan lulus. Sehingga dengan keputusan ini dan itu, pastinya segala akibat dan resiko di kemudian hari adalah tanggung jawab yang tidak bisa di tawar-tawar lagi.
Dari pandangan kebanyakan orang pada saat ini fakta menyatakan bahwa zaman sekarang apabila seorang siswa setelah lulus sekolah dapat meneruskan di perguruan tinggi berarti dia termasuk orang-orang yang sangat beruntung. Mengingat mahalnya biaya kuliyah, himpitan ekonomi yang semakin sulit, dan akses pendidikan yang belum sepenuhnya dapat di nikmati rakyat di segala level. Sering terjadi kasus di lapangan proses negosiasi saat masuk perguruan tinggi. Dengan persyaratan  yang begitu rumit mengakibatkan hanya mereka orang beruang saja yang mampu mengenyam pendidikan tinggi berkualitas. Sehingga pendidikan formal yang demikian terkesan  sulit di capai oleh mereka yang status ekonominya pas-pasan, apalagi yang di bawah standar.
  Jika demikian berarti diri ini harus siap dengan berbagai resiko masuk perguruan tinggi. Terutama masalah pembiayaan oprasional setiap waktu yang telah di tentukan dan biaya hidup selama kuliyah. Semua itu tak mungkin di bayar kecuali dengan uang. Sedangkan zaman sekarang cari uang itu sulitnya bukan main. Sehingga harus di tanamkan dalam benak para calon mahasiswa bahwa kuliyah itu tidaklah hal main-main belaka. Mereka harus  tahu dan sadar akan pentingnya kesungguhan dalam mengemban amanat dan tanggung jawab mereka sebagai kaum terpelajar. Segala sesuatunya harus di persiapkan sejak dini. Supaya jerih payah orang tua baik moril materiil tidak tersia-siakan. Dalam arti agar ada keseimbangan hasil yang di peroleh di kemudian hari antara besarnya jerih payah orang tua terutama pembiayaan di sandingkan dengan sejauh mana out putnya kelulusan.  
Permasalahannya adalah apabila ada seorang siswa yang  meneruskan kuliyahnya namun pertama kali benak pikiran mereka sudah terisi oleh nuansa tertentu yang kurang positif. Hiruk priuk anak muda sekarang menjurus pada romantisme dunia perkuliyahan. Wajar memang berbicara tentang romantisme tak dapat lepas dari dunia remaja. Dan itu sah-sah saja. Namun harus di waspadai virus-virus ajaran yang kurang baik perlu di hindari.  
Oleh karena itu ketika seorang siswa ingin melanjutkan kuliyah, kebanyakan memikirkan tentang soal kampus seperti di sinetron layar llebar. Nuansa romantisme mereka tercermin pada sebuah anggapan bahwa kuliyah itu seperti literatur senetron cinta di TV. Kalau di TV anak kuliyahan pada menenteng pacar, gonta ganti baju, belanja di mall, mungkin mereka pun beranggapan demikian. Jika memang itu yang ada di benak mereka maka tidak di ragukan lagi kuliyah merupakan tempat persinggahan belaka. Kuliyah bukan merupakan bentuk tanggungjawab atau amanah orang tua yang harus di jalankan dengan sebaik-baiknya. Inilah bahaya yang akan melanda.
Memang hipnotis media sudah sangat sulit untuk di bendung lagi. Mereka pasti tidak ingin di katakan katrok, kampungan, ndeso ketika berada di kampus pada kususnya dan di kota pada umumnya. Meskipun orang desa harus terlihat gaul, matre, cuull dan embel-embel bahasa kekinian yang lain. Pastinya dengan kepindahan mereka ke perguruan tinggi, hidup di perkotaan maka harus ada perubahan. Terutama penampilan fisik ini biar tambah keren. Dengan penampilan fisik yang oke, maka mereka tidak menjadi bahan korban omongan jelek, tak  di beri label jadul, dan ketinggalan zaman pastinya.
Mahsiswa baru memang  kebanyakan perpikiran demikian. Setidaknya mereka akan berpikir kampus itu sebuah kesempatan asik untuk lari dari pengawasan orang tua. Sehingga bebas bertingkah karena tidak ada inteljen yang berpatroli mengawasi gerak-gerik mereka setiap saat.
Ada pula mereka berpikiran bahwa di dalam kampus itu i mahasiswanya pinter pintar dengan jenjang pendidkan yang sedang di jalaninya. Perguruan tinggi mengisyaratkan tingginya intelektualitas manusia di dalamnya. Karena ketika ada sebuah informasi dari salah satu media mengindikasikan bahwa mahasiswa itu adalah seorang terpelajar yang memilki segudang iltelektualias. Sementara itu dalam sejarah manusia orang pintar itu atau orang berhasil adalah mereka yang mau berusaha untuk bisa menjadi yang terbaik dengan kesungguhan dan ketekunan. 
Sehingga dari sinilah seorang calon mahasiswa  harus berpikir jernih bahwa setiap keberhasilan itu bergantung pada usaha yang di lakukan. Untuk menjadi pintar tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Seorang mahasiswa harus berusaha memperkaya khasanah keilmuan dengan berbagai jalan yang memang jalan tersebut dapat menghantarkan mereka pada cita-cita. Maka dari itu segala keberhasilan itu kembali pada diri masing-masing. Apabila cita-cita ingin menjadi seorang mahasiswa yang kompeten di bidangnya maka usahakanlah impian lurur tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu bagi siapapun yang belum tahu tentang dunia kampus terutama calon mahasiswa ketahutilah, kompetensi dari output seorang sarjana itu berbeda-beda. Jangan sampai berpikiran dangakan menyimak tentang perkuliyahan dan isi-isinya.  Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian
Pikiran-pikiran positif inilah yang harus tertanam di benak setiap mahasiswa. Baik itu calon mahasiswa, mahasiswa baru ataupun mahasiswa lama.  Sehingga bukan pikiran pragmatis, hendonis saja yang memenuhi perjalanan mereka dalam mengarungi dinamika pendidikan di kampus mereka masing-masing . muatan positif seperti inilah yang kemudian harus di jadikan pegangan mereka selama di dunia kampus jika menginginkan keberhasilan tercapai.
Akhirnya hal yang terpenting adalah siapkan diri ini untuk menata masa depan yang lebih baik.  Pertanyaan yang harus terbias dalam jiwa mereka adalah Bagaimana caranya menjadi seorang mahasiswa yang ideal. Karena pertanyaan seperti ini sudah jarang di temui di kalangan mereka. Apabila pertanyaan ini tidak di pikirkan dengan jawaban dan pelaksanaan yang sebaik-baiknya maka masadepan untuk menjadi sajrana yang baik tak mungkin tercapai. Masa depan mereka akan hancur. Ijazah hanyalah sebuah kertas yang di ragukan subtansinya.  
Oleh karena itu usaha memulai  pendakian menggapai sarjana berkualitas dengan kesungguhan memasuki  gerbang perkuliyahan adalah hutang yang menjadi amanah bagi setiap civitas akademika sejak awal memasuki perguruan tingggi sampai prosesi penobatan gelar sarjana. 
Kesadaran masa depan mereka merupakan kesadaran mereka membangun bangsa. Karena masa depan bangsa tergantung pada kita semua sebagai warga negara pada umumnya dan tanggung tanggung jawab para kaum terpelajar pada kususnya. Sehingga langkah perjalanan negara  ini menuntut kesungguhan mereka dalam menajalani proses pendidikan tingkat tinggi tersebut.  Jika tidak demikian maka dapat di pastikan kaum berpedidikan di negara ini kualitasnya rendah. Sehingga  akan berakibat fatal, karena memang tujuan adanya pendidikan tinggi adalah mencetak kaum terpelajar yang berkualitas dengan adanya  mutu kesarjanaan yang mumpuni di bidangnya masing-masingl.

Aku belajar
 Oleh : @fauzin el-banjari
Mahasiswa semester tiga prodi PGMI fakultas tarbiyah  IAIN Walisongo Semarang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar