Selasa, 08 Februari 2011

TIDAK PANTAS JADI PENGEMIS

Tahun 2011Hari selasa 25 januari

Aku berjalan di siang hari menuju kampus. Ujian semesteran baru saja usai seminggu yang lalu. Jika melihat kalender akademik sudah barang tentu hari-hari seperti ini bukanlah jadwal masuk kuliyah. Atau juga bukan merupakan hari aktiif seperti hari-hari biasa. Ada sih sebagian mahasiswa yang keluar-masuk kampus, tetapi mereka paling-paling hanya Cuma sekedar main. Entah ke perpustakaan lihat-lihat buku atau pada janjian pada ingin pergi liburan sama teman-teman yang lain.

Sebagai mahasiswa semester tiga yang tinggal di masjid, aku harus merelakan hari libur untuk tidak pulang kerumah. Pada hal sebetulnya hatiku ingin ketemu ayah dan ibu adik, keponakan serta sanak keluarga yang lain. Terutama nenek, yang selalu menanyakan diriku jika terlalu lama tidak pulang dari kuliyah. Karena sejak kecil, kira-kira aku sudah bisa di tinggal orang tuaku bekerja, penjagaan dan perawatanku setiap hari di urus beliau. Sehingga wajar saja kalau nenek sering bertanya tentang aku saat aku tidak berada di rumah terlalu lama sehingga beliau merasa seolah kehilangan.  Kangen sepertu  itu adalah hal yang wajar. Dalam hati, aku ingin sekali bertemu mereka semua dan kampung halamanku.

Ya tuhan!!!!!!,aku pengen pulang ke rumah” batinku setiap hari.

Tetapi harus bagaimana lagi karena ini tanggung jawab dan amanah dari masyarakat yang sudah mempercayakan sepenuhnya untuk merawat dan meramaikan masjid.  Maka tidak ada keputusan  lain kecuali tetap berada di kota semarang, tempat kampusku berada. Aku harus ikhlas untuk tidak pulang ke rumah.  Meskipun pada hari itu sebenarnya libur, teman-temanku pada pulang, aku berupaya seolah tidak peduli akan hal itu. Aku harus tetap menjaga masjid ini, rumah tuhan, tempat orang-orang beribadah, dan tempat aku belajar bermasyrakat.

Sekitar pukul setengah sembilan, aku pergi ke kampus. Apakah yang akan aku lakukan pada waktu liburan seperrti ini?. Maksud aku ke kampus tidak lain dan tidak bukan adalah mencari buku. Meminjam buku perpustakaan yang isinya berhubungan dengan pelajaran pesantren. Aku harus secepatnya mendapatkan buku-buku itu dari perpustakaan, agar waktu-waktu yang lain dapat di pergunakan untuk keperluan yang lain pula.

Niatku sudah bulat. Hatiku berkata sendiri, menasehati diriku
Kamu hari ini harus foto kopy buku ini,  agar nanti sudah ada persiapan untuk mengajari Titu (Nama panggilan anak dekat masjid )”.

Kenapa aku harus mencari buku ke perpustakaan kampus pada hal hari libur. So pastinya kalender akademik kampus tidak menunjukan bahwa hari itu hari masuk kuliyah. Alasannya  adalah aku di kota semarang, kuliyah seperti sekarang ini tidak membawa buku-buku pesantren. Meskipun aku pernah di pesantren selama tiga tahun ternyata aku belum bisa menguasai materi-materi yang dulu pernah di ajarkan tanpa melihat-lihat isi pelajarannya. Sehingga apabila aku tidak mempunyai buku tersebut aku tidak bisa apa-apa. Apa bila di beri amanah untuk mengajari anak yang akan masuk ke pesantren maka syarat mutlaknya harus mempunyai buku.  

Ceritanya begini, seminggu sebelum hari itu, aku di di datangi seorang ibu yang tidak lain adalah ibu titu. Tepatnya tanggal 19 januari, pada saat sore hari beliau datang ke masjid dengan putranya menemuiku.

Assalamualikum, lagi apa mas” tiba-tiba terdengar suara seorang anak kecil mengucap salam dari luar kamar. Tiba-tiba Titu masuk ke kamar masjid. Kamar inilah tempat dimana penjaga masjid tinggal.

Walaikum salam, ada apa titu kok sore-sore kesini. Ini lagi nulis sedikit” jawabanku. 

Mas kamu di panggil ibu” sontak dia tidak menghiraukan pertanyaanku padanya.

Aku heran. Di tanya tidak di jawab dahulu malah langsung nyuruh-nyuruh. Titu malah langsung menyuruhku menemui ibunya yang berada di serambi masjid.

Aku heran, ada apa gerangan ibunya mencariku. Aku tidak tahu. Aku juga belum tahu. Sehingga kata hatiku meyakinkan diriku untuk langsung menemui ibu tersebut.

Tanpa banyak tanya aku langsung menuruti permintaannya. Keluar menemui ibunya yang katanya telah menungguku di luar. Pada hal waktu itu sebetulnya aku belum mandi. Karena pada waktu itu belum sampai jam 17.30 WIB sehingga aku belum mandi. Waktu yang belum terlalu sore untukku. Sehingga dengan agak terpaksa karena merasa kurang sopan hanya  memakai kaos putih dan bersarung aku datang memenuhi permintaan beliau.

Dari agak kejauhan, aku memandang Ibunya titu pada waktu itu menghadap ke arah timur. Beliau memandangi jalanan yang ramai oleh kendaraan yang sedang lewat. Lalu ternyata tiba-tiba ibu tersebut memalingkan pandangannya menghadap pada aku.
Pertama-tama aku menampakan muka senyum kepada beliau. Agar terlihat sumeh, dan bisa bermasyarakat.  Setelah aku duduk menghadapnya tanpa bosa-basi ibu tersebut langsung bertanya pada aku.

“Mas kamu bisa apa tidak, semisal ngajari titu?”pinta ibu ke aku.

“ Pripun bu ( ada apa bu’) ’” tanyaku balik meminta kejelasan.

“ Begini dik titu kan akan masuk pesantren setelah lulus ujian nanti. Kalau di hitung-hitung dia di rumah masih sekitar enam bulanan lagi. Lha ini agar tidak ketinggalan pelajaran dengan anak-anak yang lain aku mohon kamu bisa ngajari dia materi-materi pondok” pintanya padaku.

Materinya apa saja ya bu?” aku meminta kejelasan pada beliau. Aku kawatir kalau seumpama nanti pelajaran yang ku ajarkan kurang pas dengan pelajaran pondoknya, jadi tidak enak.

Alah dik itu lho paling-paling pelajaran dasar bla bla bla……” beliau  menjelaskan ini dan itu tentang pelajaran dasar yang di maksud beliau.

“ Ya udah bu, begini sekarang waktunya kapan. Karena kalau setelah magrib aku ngajari afil, putranya bapak rifai “. Jawabku.

Aku minta kelonggarannya agar jadwalnya tidak tabrakan. Karena afil juga minta di ajari les setelah magrib. Sehingga aku berusaha minta penjelasan lebih detail terkait kapan waktu yang tepat untuk mengajarinya.

Biasanya dia senengnya selesai sholat  magrib dik, setelah sholat jamaah saja. Biar nanti sekalian bisa sering ikut jamaah sholat di masjid. Kalau di rumah sholatnya itu sulit sekali. Kalau tidak di ingatkan selalu saja lupa”. Ibunya titu menceritakan keseharian titu. Seoalh beliau kerepotan mengatur aktivitas anaknya tentang praktik ibadah.

Berarti ini kalau minta bakda magrib, benturan dengan mas afil. Aku ndak bisa bu kalau waktunya seperti itu.” Aku bingung harus mencari waktu mengajar yang tidak benturan antara keduanya. Kepalku berputar-putar mencari jalan keluar yang kiranya tepat untuk menyelesaikan masalh ini. Tidak lama kemudian munculah ide dari pikiranku.

“ Atau mungkin begini saja bu, nanti malam aku tak matur matur ibunya afil kalau dik titu nanti minta di ajari ngaji yang jadwalnya setelah magrib. Sedangkan jadwal ini benturan dengan jadwal ngajinya kak afil. Sehingga harus di cari jadwal yang pas, agar satu sama lain semuanya dapat belajar. Aku tak berusaha meminta agar nanti mas afil yang bakda sholat isyak saja sedangkan dik titu yang bakda sholat magrib.

Kalau sudah ada kesepakatan nanti saya akan datang mengabari ibu ke rumah” alhamdulillah sepertinya tawaran ini bisa di lakukan. Dan aku berharap demikian.

Ya sudah mas, sampean atur saja. Yang penting nanti titu bisa mengikuti materi pondok dengan mudah, karena sudah ada persiapan dari rumah”.

Adzan magrib telah berkumandang. Masjid al-falah, sebagai salah satu  masjid di perumahan di kota semarang terlihat ramai. Banyak kaum muslim di waktu magrib yang menyempatkan sholat berjamaah. Sehingga nuansa kebersamaan, krukunan, nuansa guyub dan nuansa persaudaran masih sangat tersa. Meskipun sebenarnya ini berada di kota namun masyrakat lingkungan sini masih menjaga nilai-nilai tersebut agar tetap lestari sebagai simbol kekeluargaan yang tak bisa terlepaskan dari kepribadian masyarakat zaman dahulu. Meskipun berada di lingkungan perkotaan namun nuansa kearifan pedesaan selalu di jaga kelestariannya.

Waktu sholat berjamaah telah usai. Aku harus segera bergegas munuju rumah bapak rifa’I untuk mengajari afil alqur’an. Di tengah-tengah proses belajar mengajar, aku sesekali bertanya pada afil. Bagaimana kalau kak afil ngajinya pindah jam, yakni bakda sholat isya. Ternyata jawabnnya dia kurang setuju dengan jadwal itu. Terpaksa aku harus menunggu pembelajaran ini selesai dahulu baru nanti matur dengan ibunya.

Setelah aku selesai mengajari dik afil aku matur tentang permintaan ibunya titu tadi sore. Aku berusaha dengan permintaan yang sopan, agar tawaran jadwal yang aku ajukan dapat di terima. Eh ternyata kedua kalinya afil kurang setuju dengan jaml privat yang jadwalnya setelah isya’. Ibunya pun demikian. Beliau takut kalau jadwal privat setelah isya’ itu terlalu malam untuk afil. Nanti takutnya sekolahnya ngantuk. Atau mungkin waktu belajar untuk materi sekolah jadi berkurang.

Dengan tanggapan ini aku merasa tidak enak.  Seumpama aku tidak usaha mencari jalan solusinya, maka aku nanti mengecewakan ibunya titu. Padahal ibunya titu sudah kesana kemari mencari oorang yang siap dan sanggup untuk membimbing dan mempersiapkan titu yang akan masuk ke pesantren.
Dengan nada memelas akupun berusaha menjelaskan, menerangkan, serta membujuk afil dan ibunya agar jadwal privatnya afil dapat di rubah. Setelah beberapa kali aku memberikan  alasan yang masuk akal, alhamdulillah mereka dapat memberikan ruang padaku. Dan mereka malah mendukungku akan upaya yang akan ku lakukan. Memperkenankan diriku mengajari afil setelah sholat isak.

“Alhamdulillah ya allah akhirnya ada jalan keluarnya” aku merasa lega dengan keputusan yang mereka berikan.

Selang dua hari akupun langsung menyampaikan berita gembira ini kepada ibunya titu. Di sana aku berusaha menjelaskan keterangan yang aku dapatkan dari negosiasi kemarin. Aku juga meminta beliau agar kegiatan belajar mengajar di mulai saja di minggu depan. Karena selain aku harus menyiapkan materi dan kurikulumnya, aku juga punya kewajiban memimpin ngaji tahlil di salah satu rumah warga yang baru kemarin meninggal.

Pikiranku berputar-putar. Mengingat-ingat masalah kemarin yang sedang aku hadapi. Yaitu masalah menyiapkan materi pelajaran titu sekaligus metode yang tepat untuk mengajari pelajaran yang mungkin bagi titu belum pernah mengetahutinya. Memang selama bertahun-tahun dirinya sudah tidak lagi belajar ngaji layaknya anak-anak TPQ yang lain. Inilah yang menjadikan permasalahan untukku. Kalau aku mengajarkan ini dan itu, tetapi materi dan metodenya kurang pas berarti bisa di tebak, delapan puluh persen dia keberatan. Tidak paham apa yang aku samnpaikan kepadanya.

Pada hari itu juga tanggal 25 januari 2011 ini aku pusing tuyjuh keliling. Biasanya tanggal tua identik dengan penyakit dompet kosong alias tidak punya uang. Ya aku memikirkan dompetku yang uangnya tinggal dua puluh ribu.

Berarti ini hanya cukup untuk foto kopy buku panduan untuk mengajari titu saja!!!!!!!!!!”. Kata dan keluh kesahku dalam hati.

Uangku hampir habis. Ternyata sebualan ini banyak kebutuhan tak terduga yang sering harus ku cukupi. Sehingga seginilah sisanya.”

Maklum akhir-akhir ini kebutuhan keseharianku tidak dapat di tebak. Ada saja kebutuhan pengeluaran uang yang tiba tiba harus di penuhi. Yang paling membuat uangku terkuras habis adalah karena masalah pompa air masjid  yang pada waktu itu sering rusak. Sehingga uangku harus aku pergunakan terlebih dahulu untuk menutupi biaya perbaikan sanyo itu. Baik itu untuk memanggil tukang air, biaya perlengkjapannya, tukang servisnya, sampai biaya membelikan konsumsi tukang yang membetulkan pompa tersebut selama berhari-hari.

Dengan agak terpaksa, pembiayaan itu semua aku talangi dulu, karena keuangan masjid akhir-akhir ini tidak bisa mencukupi biaya oprasional bulan tersebut.

Rabu dua puluh tujuh januari 2011

Dari tempat tinggalku, aku telah berniat. Niatku ialah untuk memfotocopi buku perpusatakaan kampus yang kemarin aku pinjam.  Foto copi buku  itu akan aku gunakan sebagai dasar acuan pengajaran untuk titu. Setelah selesai beres-beres membersihkan sekitar masjid, aku segera mandi. Setelah itu aku siap-siap ke kampus. Buku-buku yang aku pinjam dari perpustakaan kemarin ku masukan ke dalam tas. Ada tiga jenis buku yang akan aku foto copi. Dan kesemuanya adalah buku-buku pesantren yang berbahasa indonesia, bukannya kitab kuning seperti di pondok-pondok klasik.

Meskipun terik matahari sangat panas dan tak mau mengalah, aku tetap bulat pada niatku untuk foto copi. Sehingga meskipun tidak memakai kendaraan untuk sampai lokasi, dan ini juga agakl berat bagiku tetap saja ku kuatkan kakiku menyusuri lorong perumahan yang berkelok-kelok dan panjang.

Dalam hatiku “ Ya Allah panas sekali siang ini!, pada hal tadi malam hujan sangat deras, bahkan tadi pagi agak mendung.”

Perubahan cuaca zaman sekarang memang tak seperti dulu. Pada zaman dahulu musim hujan atau kemarai dapat di tebak. Tetapi memang mungkin zamannya sudah tua. Cuaca semakin ekstrim dan sulit di prediksi. Jika kira-kira tahun ini ada dua iklim yang teratur mungkin untuk tahun depan tidak demikian. Bisa saja setahun panas terus, kemarau berkepanjangan. Dan bisa saja setahun penuh musim penghujan terus. Semoga saja ada jalan keluar yang dapat menanggulangi cuaca yang demikian yang di ikuti oleh kesadaran seluruh manusia di berbagai belahan dunia akan pentingnya menajaga kestabilan alam lewat langkah-langkah yang positif.

Dengan  di penuhi rasa panas aku harus hati-hati, menyusuri pinggiran jalan raya yang sarat dengan kedaraan yang hilir mudik. aku berusaha menjangkau lokasi foto copi meski panas tak dapat terelakan.
Setelah sekitar dua puluh menitan aku mulai lega, sehingga bisa menatap bangunan foto copi yang semakin dekat.

“Akhirnya aku sampai juga” batinku.

Antrian agak lama. Anak-anak perkuliyahan semester tua pada saling beergantian meminta untuk di layani. Pada saat yang bersamaan aku menjumpai kakak smesteranku yang kelihatannya aku mengenlnya. Kalau tidak salah sudah semesterr delapan. Mungkin tinggal ngurus skripsi.

“Mas” dia memanggilku.

Meskipun usianya lebih tua dari aku namun dia sering memanggilku demikian. Sejak kemarin satu paket dan satu kelas mata kuliyah psikologi anak dia memang agak akrab denganku. Sering berkomunikasi, saling menyapa.

“Oh ya mas!” aku membalasnya.

Terus aku bertanya“ lho libur gini masih ngurus foto copi mas, sampean tidak liburan tho?”

“Alah kok liburan, yang penting aku nyelesaikan kewajibanku dulu. Ini masih ngurus tugas skripsi,”jawabnya padaku.

“ Ooo!!!!!!!!!!!!!, begitu. Lha memangnya kalau di urus besuk-besuk kenapa mas?. Waktunya libur mending liburan mas. Kaya tidak ada hari lagi saja!.” Gurauku sambil tersenyum.


Secepat kilat dia langsung menjawabku.
Biar cepet lulusnya lah, aku tidak ingin kuliyah lama-lama. Delapan semestewr cukuplah. Tidak ingin tua di kampus.”

Ya sudah, semoga masnya cepet lulus. Sekalian cepet kerja. Biar nanti bisa nulari aku” kataku mendukungnya.

Aku sangat suka jika ada seseorang itu memilki tarjet dalam setiap hal. Harus ada tarjet di dalam setiap kariernya. Sehingga umur yang di berikan oleh tuhan kepadanya tidak terbuang percuma.

 “ Trimkasih, ya di doakan saja. Semoga cepet kelar semuanya. Ya sudah aku duluan lho. Sampai ketemu lagi!. Tak doakan kamu juga baik kuliyahnyanya. Juga cepet lulus dan segera mendapatkan apa yang di cita-citakan” Imbuhnya panjang lebar.

Memang suasana foto copy pada hari itu tidak terlalu padat namun boleh di kata termasuk ramai. Biasanya aku kalau foto copi di tempat ini pagi hari sekitar jam delapanan. Tetapi untuk hari ini memang tidak seperti biasanya. Karena harus membersihkan masjid dulu, sehingga agak molor, sampai agak siang seperti ini.

Ahkirnya setelah mengantri selama sekitar hampir dua puluh menit tiba giliranku. Aku di panggil pelayan foto copinya.

Mas pengen foto copi?” seorang wanita paruh baya memanggil untuk menawariku. Di menanykan apakah aku ingin memfoto kopi atau perlu yang lain.

“Ohh ia bu’!!!. “ jawabku agak kaget.

“ Bu’  biasa ya.  Ini di foto copy buram di perpanjang seperti biasannya saja biar cepet” pintaku padanya.

“Seperti kemarin mas?” dia mencoba bertanya kembali agar lebih jelas.

Ia, kayak kemarin bu’, tidak usah kertas putih mahal kok”.

Aku menjelaskan kembali padanya. Memang kemarin aku pun juga telah foto copi di tempat ini.

 “Jangan lupa bu’ saya nanti tolong   di kasih nota, biar nanti bisa ada hitung-hitungannyaterangku kepadanya.

Ku jelaskan ibu tadi menganai bentuk fotocopi yang aku inginkan. Aku biasanya minta kertas buram, di perkecil, dan di jilid panjang. Kenapa kertas buram. Karena memang aku biasanya seperti itu. Kertas buram, berarti sederhana. Yang penting inti materi yang di foto copi dan di pelajari. Kalau toh foto copinya kertas bagus, akan tetapi tidak di pakai untuk belajar, kan sama saja. Lebih baik foto copinya sederhana, akan tetapi di fungsikan dengan sebaik-baiknya. Dalam arti apabila tujuan awal foto copi adalah agar bisa mempelajari materi foto copian tadi, maka setelah di foto copi ya harus di gunakan sebaik-baiknya. Tidak lantas hanya sekedar punya foto copiannya.

Terus kebiaasaanku foto copi di perkecil, apakah menandakan bahil?. Menurutku tidak juga. Memperkecil foto copian, maksudnya adalah agar buku yang di foto copi tidak menumpuk sampai menggunung. Karena kalau setiap kali foto copi buram tidak di perkecil, bisa-bisa akan memenuhi rak buku. Bisa juga, di perkecil bertujuan agar buku tersebut lebih simpel. Tidak berat jika harus di bawa kesana kemari.
Keseringan dariku, memfoto copi di perpanjang.  Di perpanjang biasanya lebih menghemat waktu.

Pelayan biasanya mengeluh kalau ada orang yang foto copi Cuma satu buku, lantas dia menginginkan hasil foto copiannya itu di jilid seperti percetakan sungguhan. Mereka sering mengeluhkan yang demikian. Kalau memang pesannya banyak tidak apa-apa. Karena nanti itu bisa ada nilai lebihnya.

Sebenarnya foto copi seperti ini sepenuhnya aku kurang setuju. Meskipun memakai kertas buram, di perkecil dan di perpanjang itu hemat biaya, namun sebetulnya dalam hati kecil tidak menginginkannya. Karena bagaimanapun yang lebih baik adalah apabila ada seseorang yang memilki buku, tetapi buku tersebut memang betul-betul asli dari percetakan. Bukanya buku yang di dapatkan dari hasil kopian.
   
Sambil menunggu sebentar, duduk-duduk di sebelah selatan foto copy tiba-tiba ada seorang bapak-bapak datang. Tak di sangka dia datang, menyadarkanku yang tadi melamun memandangi hilir mudik kendaraan. Sebelumnya aku melihat bapak tersebut berjalan sangat cepat. Karena mungkin ingin segera bertemu seseorang. Eh malah dia langsung menghampiri diriku.

“Mas!!!!!” bapak itu memanggilku.

Bapak iru membawa tas berwarna merah agak kehitam-hitaman. Tas tersebut di tanting di atas pundak sebelah kiri. Kalau di lihat-lihat memang dia masih belum terlalu tua. Namun peretama kali aku melihat parasnya terbesit dalam hatiku tentang sebuah pertanyaan.

 “ Lah kenapa bapak ini?” tanyaku di dalam hati

“Mas!!!!!!!!!!!!!!!”kedua kalinya dia memanggilku.

Tak heti-hentinya dia menengadahkan tangannya, seoalh mengharap sesuatu dariku. Dan ternyata kalau di amati bapak itu memang seoalh sedang meminta-minta. Sudah pasti dia bermaksud ingin meminta uang.

Sebelum aku tahu jelas tentang kedatangan bapak tadi batinku bertanya ”Aku heran, apa benar bapak yang masih sehat seperti ini tega-teganya mengemis?.”

 Mas paringi”( Mas Beri Uang) orang tadi menungguku.

Ternyata dia tak pindah dari tempat ia berdiri. Berkali kali aku mencoba berusaha tidak tahu menahu akan keberadaannya, semakin dia mendekatkan kedua tangannya ke mukaku. Dan pastinya dia semakin memksaku agar aku memberinya uang.

Ada apa pak?” tanyaku sambil berusaha mengelak darinya. Aku paling tidak suka kalau ada orang yang memaksa seperti itu. Kesel banget pokoknya menghadapi orang seperti ini.

Tetapi aku tidak langsung memberinya uang. Karena aku pikir yang sebenarnya harus memberi pengemis ini adalah pihak foto copi. Sehingga aku berusaha untuk mengarahkan bapak tadi agar meminta pada tukang foto copinya.

Beberapa kali aku menunjukan tanganku ke arah tukang foto kopi agar dia meminta pada ibu pengelola foto copi itu. Ehh tapi ternyata tukang pengemis itu sangat keras kepala. Dia malah semakin memanggil-manggil aku.

Mas!!!!!!!!. Tulung mas.”pengemis ini malah tidak mau pergi. Dia malah semakin memperkeras suaranya memangilku dengan nada meminta.

Dalam hatiku, aku sangat bosan dengan orang-orang seperti ini. Aku ingin berteriak keras. Sekeras suara seseorang yang sedang benci terhadap orang yang di bencinya.

 “Ya tuhan.  Pak….!!!!!!!!!!!,  kamu minta ibu foto copi saja. Jangan minta aku. Aku ini bukan yang punya foto copi ini!!!!.” Kata hatiku berteriak, menjeritkan suara hati yang tidak hiraukan pengemis ini.

Aku berharap agar dia mau mengemis saja kepada ibu fotocopi. Aku ulangi permintaanku ini. Namun memang bapak tadi sangat menjengkelkan. Berulang kali aku memperingatkannya lewat isyarat dan pandanganku, agar tidak memintaiku yang pada waktytu itu banyak hutang , ternyata tidak ada respon.
Sampai akhirnya aku menyerah karena jengkel tidak kuat dengan sikap bapak tersebut.
  
Dengan agak terpaksa aku keluarkan selembaran uang. Ya itu nominalnya Cuma seribu rupiyah. Jumlah yang tak terlalu banyak sih. Tetapi aku sabetulnya sangat membutuhkannya.

Dalam hati aku sangat menginginkan uangku itu untuk keperluan lain. Namun bapak tadi memang menurutku telah sangat keterlaluan.
Yang aku heran adalah masak orang masih sehat, seger, kuat dan pastinya masih usia produktiv kok  tega-teganya meminta-minta. Dan menurutku, bapak tadi Tidak pantas menjadi pengemis. Karena memang secara lahiriyah dia masih belum bisa terkategirikan sebagai golongan orang orang yang pantas menjadi pengemis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar